Jumat, 20 Januari 2012

Kaedah-Kaedah Kedabitan Perawi

share

I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam sesudah kitab suci al-Qur’an. Namun demikian terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Dilihat dari periwayatannya, al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk hadis Nabi sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.[1]
Hadis yang diriwayatkan secara mutawatir tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahannya. Sebab diriwayatkan oleh banyak orang dan mustahil mereka berdusta di dalamnya. Akan tetapi hadis yang diriwayatkan secara ahad itulah yang perlu diteliti dengan baik, sehingga dapat diketahui hadis sahih, hasan dan daif.
Kualitas sebuah hadis, salah satunya, sangat tergantung pada perawi. Oleh karena itu, pembahasan tentang perawi menjadi penting dalam ilmu Mus}t}alah} al-H{adi>s. Di antaranya adalah membahas syarat-syarat perawi yang dapat diterima dan dipakai hujjah riwayatnya.
  Para ulama pun berbeda-beda dalam menentukan kriteria dapat diterimanya sebuah riwayat. Tetapi Ibn S{ala>h} menjelaskan bahwa jumhur imam hadis dan fikih sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat dipakai hujjah riwayatnya hendaklah adil dan dabit.[2]
Adil, dalam ilmu Hadis, adalah suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi perbuatan munkar dan segala sesuatu yang akan merusak harga dirinya atau muruah.[3] Sedangkan dabit adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, mampu menghafal dan menulis kembali hadis yang diketahuinya.[4]
Adil menyangkut masalah etika dan akhlak seorang perawi sedangkan dabit menyangkut keilmuannya. Karena itulah Menurut penulis yang paling penting untuk diteliti dalam diri seorang perawi adalah sisi kedabitannya. Kurangnya kedabitan yang dimiliki oleh seorang perawi menyebabkan hadis itu turun derajatnya dari sahih menjadi hasan yang dipopulerkan oleh al-Ima>m al-Tirmiz\i>.[5] 
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang sisi kedabitan pada perawi.
        B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah bagaimana kedabitan seorang perawi yang dibagi ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian الضَبْطُ?
2.      Bagaimana Keragaman الضَبْطُ?
3.      Bagaimana kaedah-kaedah الضَبْطُ?
 II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kedabitan
Kedabitan merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Ia berasal dari  kata ضَبَطَ – يَضْبُطُ  yang berarti menjaga dengan kuat.[6] Ibn Manz\u>r mengatakan bahwa الضَبْطُ adalah menetapnya sesuatu dan bertahan. Hal senada juga yang diungkapkan oleh al-Lais\ bahwa الضَبْطُ adalah menetapnya sesuatu dan tidak berpisah-pisah.[7] Berdasarkan pengertian secara bahasa ini, الضَبْطُ berkaitan dengan melekatnya sesuatu dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah, pengertian الضَبْطُ telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai bentuk keterangan. Misalnya Ibn S}ala>h mengatakan, الضَبْطُ adalah seorang perawi menjaga hadis baik dalam bentuk hafalan maupun dalam bentuk tulisan dan mampu menghadirkan pada saat ingin meriwayatkannya.[8] Lebih lengkapnya Nu>ruddi>n ‘Itr menjelaskan bahwa menurut ahli hadis, الضَبْطُ adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalannya bila hadis yang diriwayatkan  berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, tahu persis kata-kata yang digunakan bila hadis yang diriwayatkan secara makna.[9]
Berdasarkan pengertian ahli hadis di atas, maka Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> dan Abu> Syahbah membagi الضَبْطُ kepada dua bagian, yaitu ضَبْطُ صَدْرٍ dan ضَبْطُ كِِتَابٍ. Keduanya akan dibahas pada keragaman  الضَبْطُ.
Pengertian di atas sebenarnya masih terbatas pada kemampuan perawi dalam meriwayatkan hadis secara lafaz. Tetapi jika merujuk kitab-kitab Us}u>l al-Fiqh maka ditemukan bahwa kedabitan seorang perawi dapat dilihat pula dari kemampuannya memahami riwayat yang mereka sampaikan. Bahkan dalam kerangka inilah mereka menafsirkan makna الضَبْطُ. Hal ini, bagi ahli Usul, lebih menjamin validitas hadis yang disampaikan, terutama sekali jika bertentangan dengan riwayat yang serupa.
Fakhr al-Isla>m al-Bazdawi> misalnya, beliau menginterpretasikan kata الضَبْطُ dengan menggarisbawahi kekuatan hafalan dan pemahaman sang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Beliau mengatakan bahwa الضَبْطُ, interpretasinya adalah mendengar sebuah hadis sebagaimana mestinya, kemudian memahami makna yang dikehendakinya, kemudian menghafalnya dengan segala potensi yang ada, lalu berusaha konsisten dalam menghafalnya, dengan menjaga batasan-batasannya, dan selalu memeriksanya serta mengulangnya berdasarkan pertimbangan bahwa dirinya belum menguasainya hingga tiba waktu periwayatan.[10]
Pengertian yang dikemukakan oleh al-Bazdawi> di atas menjadikan الضَبْطُ terbagi atas dua bagian, yaitu: 1) kedabitan dalam penguasaan matan beserta s}i>gah-nya serta maknanya secara bahasa; dan 2) kedabitan yang berkenaan dengan kemampuan perawi memahami maknanya dari segi fikih dan syariat.[11]
Namun demikian, mayoritas ulama hadis tidak mensyaratkan kemampuan memahami hukum-hukum fikih yang terkandung pada sebuah hadis sebagai unsur الضَبْطُ. Kemungkinan tujuan yang dikehendaki oleh al-Bazdawi> adalah dalam rangka mentarjih riwayat seorang perawi yang hafiz dan sekaligus ahli fikih, terutama ketika terjadi pertentangan riwayat dengan perawi yang bukan ahli fikih.
B. Keragaman Kedabitan
Kedabitan seorang perawi Hadis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1.    Kedabitan dari segi sumber periwayatan
Dari segi ini, kedabitan seorang perawi terbagi menjadi dua – sebagaimana yang diungkap oleh Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> dan Abu> Syahbah – yaitu[12]:
a.    ضَبْطُ صَدْرٍ
Yang dimaksud ضَبْطُ صَدْرٍ adalah seorang perawi hadis menghapal hadis yang didengar dari gurunya dan ia mampu menghadirkan dan menyampaikannya ketika membutuhkannya, sejak kali pertama ia mendengarnya hingga ia meriwayatkannya.
b.    ضَبْطُ كِِتَابٍ
Yang dimaksud ضَبْطُ كِِتَابٍ adalah seorang perawi hadis menjaga buku yang ia gunakan untuk menulis hadis, mencegah terjadinya perubahan padanya sejak ia mendengar hadis tersebut, selalu memperbaikinya hingga masa periwayatannya, dan tidak dibenarkan meminjamkan buku tersebut kecuali kepada orang yang ia yakini mampu menjaganya dan tidak melakukan perubahan apa-apa padanya.
Dalam bahasa Ibn H{ajar, jenis ini dimaknai sebagai usaha seorang perawi hadis dalam menjaga kitabnya dari tahap awal mendengar hadis dari syekhnya, serta selalu memperbaiki kondisinya hingga ia meriwayatkan hadis tersebut dari bukunya.
Pembagian ulama terhadap hadis berdasarkan sumbernya ini didasrkan pada kondisi umum seorang perawi. Maksudnya bahwa jika ia sering meriwayatkan hadis melalui hafalannya maka kedabitannya diklarifakasikan sebagai ضَبْطُ صَدْرٍ. Tetapi jika kitabnya menjadi sumber utama dalam meriwayatkan hadis, maka ia tergolong ke dalam ضَبْطُ كِِتَابٍ. Bahkan bisa jadi seorang perawi memadukan antara keduanya, sehingga ia menempati posisi utama di kalangan para h}uffa>z al-h}adi>s\. Maksud al-h}ifz\ di sini adalah menjaga dan bukan sekedar menghafal semata (seperti yang selama ini dipahami). Karenanya ia mencakup tiga bentuk tersebut di atas, yakni periwayatan dengan hafalan, periwayatan melalui kitab dan perpaduan antara keduanya.
Akan tetapi mengenai ضَبْطُ كِِتَابٍ sebagian ulama besar menolak menerima periwayatannya seperti Abu> Hani>fah dan al-Ima>m Ma>lik. Kemungkinan alasan mereka karena ضَبْطُ كِِتَابٍ tidak terjamin keotentikannya. Tetapi menurut Jumhur Ulama ضَبْطُ كِِتَابٍ bias diterima periwayatannya dengan syarat ia mampu menjaga kitabnya tersebut dari perubahan.
2.    Kedabitan dari segi tingkatan hafalan
Dari sisi tingkatan hafalan, perawi juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu :
a.    الْضَبْطُ الْتَّامُّ
Menurut Syuhudi Ismail[13], istilah  الْضَبْطُ الْتَّامُّbila diindonesiakan dapat dipakai istilah dabit plus, diperuntukkan bagai peerawi yang; 1) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya; 2) mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain; dan 3) paham dengan baik hadis yang dihafalnya. Namun poin yang ketiga ini tidak semua ulama menyepakatinya.
Jadi, seorang perawi menghafal hadis dengan kesadaran penuh dengan tidak lalai, lupa dan ragu pada saat membawakan dan meriwayatkan hadis.
b.    الْضَبْطُ الْنَاقِصُ
Yang dimaksud dengan  الْضَبْطُ الْنَاقِصُyaitu jika seorang perawi tidak memenuhi standar الْضَبْطُ الْتَّامُّ. Misalnya ketika seorang perawi kadang lalai, lupa atau ragu ketika meriwayatkan sebuah Hadis.
Pembagian ini sebenarnya merupakan sub dari ضَبْطُ صَدْرٍ, karena tidak bisa digambarkan bahwa ضَبْطُ كِِتَابٍ terbagi menjadi الْضَبْطُ الْتَّامُّ dan الْضَبْطُ الْنَاقِصُ. Karena ضَبْطُ كِِتَابٍ hanya bisa menerima الْضَبْطُ الْتَّامُّ.
3.    Kedabitan dari segi pemahaman hadis yang dibawakan
Ada tingkatan yang menandai perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dari segi pemahaman kandungan hadis yang diriwayatkan. Tingkatan itu terbagi menjadi dua, yaitu :
a.    الْضَبْطُ الْظَاهِرُ
Yang dimaksud dengan الْضَبْطُ الْظَاهِرُ adalah tingkat pemahaman seorang perawi terhadap makna bahasa yang dikandung oleh hadis yang disampaikan.
b.    الْضَبْطُ الْبَاطِنُ
Yang dimaksud dengan الْضَبْطُ الْبَاطِنُ yaitu tingkat pemahaman seorang perawi dari segi keterkaitan hukum-hukum syariat dengan hadis yang diriwayatkannya. Hal ini sering dikenal dengan istilah al-fiqh.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tradisi ahli hadis, yang dibutuhkan adalah jenis pertama. Adapun yang kedua, ia hanyalah pelengkap (pendukung), terutama jika terjadi pertentangan riwayat dengan perawi hadis yang lain.
C. Kaedah-Kaedah Kedabitan
Ulama hadis pada umumnya tidak menerangkan argumen detail yang mendasari penetapan unsur kaedah perawi dabit. Tetapi argumen tersebut bisa dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Sya>fi‘i> sebagai berikut:
... عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ " نَضَّرَ اللهُ عَبْدَا سَمِعَ مَقَالَتِي فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَأَدَّاهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلىَ مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ... (رواه الشافعي)[14]
“(Mudah-mudahan) Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hamba-Nya yang mendengar sabdaku, kemudian menghafal, memelihara dan menyampaikannya (kepada orang lain). Banyak orang yang menerima pengetahuan (hadis hanya mampu menghafalnya) tanpa memahaminya; dan banyak orang yang menerima pengetahuan (hadis) kemudian menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya.”
Dari hadis tersebut dapat diperoleh petunjuk bahwa penerimaan riwayat hadis yang lazim pada zaman Nabi ialah melalui al-sima>‘. Sedangkan orang yang menyampaikan hadis (ada>’ al-h}adi>s\) terlebih dahulu harus hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu kepada orang lain. Perawi yang hafal, mampu menyampaikan dan paham dengan mendalam hadis yang diriwayatkannya, dengan sendirinya lebih baik (lebih berbobot) daripada perawi yang hanya hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis saja.
Tingkat kedabitan seorang perawi dapat dikatakan baik jika riwayat-riwayatnya banyak yang sesuai dengan para perawi yang terpercaya dan teliti. Bahkan walapun kesesuaian itu hanya pada level makna dan tidak sampai pada kesesuaian lafaz maka juga dikatakan sebagai perawi yang dabit. Artinya bahwa jika ketidaksesuaian riwayat yang dibawakan oleh seorang perawi dengan para perawi level atas terhitung kecil maka tetap saja ia dianggap sebagai seorang yang dabit. Kedabitan seseorang menjadi cacat jika terjadi banyak ketidaksesuaian dengan riwayat para perawi profesianal sebelumnya.
Tentang hal ini, Ibn S{ala>h menulis dalam Muqaddimahnya sebagai berikut:
يُعْرَفُ كَوْنُ الرَّاوِي ضَابِطًا بِأَنْ نَعْتَبِرَ رِوَايَاتِهِ بِرِوَايَاتِ الثِّقَاةِ الْمَعْرُوفِينَ بِالضَّبْطِ وَالْإِتْقَانِ، فَإِنْ وَجَدْنَا رِوَايَاتِهِ مُوَافِقَةً - وَلَوْ مِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى - لِرِوَايَاتِهِمْ، أَوْ مُوَافِقَةً لَهَا فِي الْأَغْلَبِ وَالْمُخَالَفَةُ نَادِرَةُ، عَرَفْنَا حِينَئِذٍ كَوْنَهُ ضَابِطًا ثَبْتًا، وَإِنْ وَجَدْنَاهُ كَثِيرَ الْمُخَالَفَةِ لَهُمْ، عَرَفْنَا اخْتِلَالَ ضَبْطِهِ، وَلَمْ نَحْتَجَّ بِحَدِيثِهِ[15]
"Kedabitan seorang perawi dikenal dengan cara membandingkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan terkenal tingkat kedabitannya. Jika kita mendapati riwayatnya sesuai, walaupun hanya pada level makna, dengan riwayat mereka, atau secara umum sama dan ketidaksesuaiannya hanya sedikit maka ketika itu kita mengenal bahwa ia dabit. Jika kita menemukan banyak ketidaksesuaian, maka kita mengetahui bahwa kedabitannya telah runtuh sehingga kita tidak lagi berhujjah dengan hadis-hadis yang diriwayatkannya.”
            Adapun cara penetapan kedabitan seorang perawi, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:[16]
a.    Kedabitan perawi  dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.    Kedabitan perawi dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi yang lain yang telah dikenal kedabitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.    Apabila seorang perawi sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai perawi yang dabit. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka perawi yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai perawi yang dabit.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan kedabitan perawi secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat pemahaman perawi tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Pemahaman perawi akan hadis yang diriwayatkan tetap sangat berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan riwayat antara sesame perawi yang dabit. Dalam keadaan yang demikian ini, maka perawi yang paham dan hafal lebih kuat daripada perawi yang sekedar hafal saja.[17] Jadi, bagaimana pun, perawi yang paham, hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain, akan tetap mendapat tempat yang lebih tinggi daripada perawi yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain.
Menurut Nu>ruddi>n ‘Itr[18], yang mengakibatkan runtuhnya kedabitan seorang perawi adalah sebagai berikut:
1.    Tidak dapat diterima riwayat hadis orang yang dikenal menerima talqi>n dalam hadis. Arti talqi>n adalah ditunjukkan kepada seorang perawi hadis yang bukan riwayatnya, lalu ditanyakan kepadanya “apakah hadis ini riwayatmu?” Lalu ia mengiyakannya tanpa dapat membedakannya. Perawi yang demikian adalah perawi yang lalai dan tidak memenuhi syarat tayaqquz\ (cepat tanggap). Oleh karena itu, hadisnya tidak dapat diterima. 
2.    Tidak dapat diterima hadis riwayat orang yang banyak meriwayatkan hadis sya>z} – yang asing dan meragukan – dan hadis yang munkar yang menyalahi riwayat orang lain yang lebih s\iqah. Alasannya adalah hal itu terjadi karena lemahnya hafalan perawi yang bersangkutan.
3.    Tidak dapat diterima hadis riwayat orang yang dikenal sering lupa dalam meriwayatkan hadis bila yang diriwayatkannya tidak bersumber dari bahan tertulis yang dapat dipercaya. Karena banyaknya lupa menunjukkan lemah daya hafalnya. Dengan begitu, perawi tersebut tidak dabit.
4.    Diriwayatkan bahwa Ibn Muba>rak, Ah}mad ibn H{anbal, al-H{umaidi>, dan yan lain berkata, “Barangsiapa salah dalam meriwayatkan suatu hadis dan telah dijelaskan kepadanya kesalahannya, namun ia tidak memperbaiki dan tetap meriwayatkan hadis tersebut dengan cara yang sama, maka gugurlah riwayatnya dan tidak dapat dinukil.”
5.    Tidak dapat diterima riwayat orang yang tidak hati-hati terhadap naskah yang darinya ia meriwayatkan hadis dari suatu kitab sumber. Seperti meriwayatkan dari sumber yang tidak benar, berupa kitab atau tulisan yang tidak sebanding dengan sumber-sumber yang didengar atau yang didapat dari para penyusun hadis dengan sanad yang sahih.
Kelima hal itulah yang dapat meruntuhkan kedabitan seorang perawi dalam meriwayatkan hadis. Jika salah satunya ada pada diri seorang perawi maka ia tidak dianggap sebagai perawi yang dabit.

III KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang kami simpulkan berdasarkan rumusan masalah yang ada, yaitu:
1.    Kedabitan adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalannya bila hadis yang diriwayatkan  berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, tahu persis kata-kata yang digunakan bila hadis yang diriwayatkan secara makna.
2.    Dari segi periwayatan, kedabitan dibagi kepada ضَبْطُ صَدْرٍ dan ضَبْطُ كِتَابٍ; dari segi hafalan, kedabitan dibagi kepada الْضَبْطُ الْتَامُّ dan الْضَبْطُ الْنَاقِصُ; dan dari segi pemahaman, kedabitan dibagi kepada الْضَبْطُ الْظَاهِرُ dan الْضَبْطُ الْبَاطِنُ.
3.     Kedabitan seorang perawi dikenal dengan cara membandingkan riwayat-riwayatnya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan terkenal tingkat kedabitannya. Apabila riwayatnya sesuai, walaupun hanya pada level makna, dengan riwayat mereka, atau secara umum sama dan ketidaksesuaiannya hanya sedikit maka ketika itu ia dikategorikan sebagai perawi dabit. Jika ditemukan banyak ketidaksesuaian, maka kedabitannya telah runtuh sehingga tidak lagi diperpegangi hadis-hadis yang diriwayatkannya.




[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992), h. 13.
[2] Lihat Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abdurrahma>n, ‘Ulu>m al-H{adi>s\, di-tah}qi>q oleh Nu>ruddi>n ‘Itr (Beirut: Da>r al-Fikr, 1406 H/1987 M), h. 104.
[3] Nu>ruddi>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Cet. III; Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H/1981 M), h 79.
[4] Ibid., h. 80.
[5] Abdul Majid Khon,  Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), h. 159.
[6] Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Wasi>t} (Cet. IV; Mesir: Maktabah al-Syuru>q al-Dauliyyah, 1425 H/2004 M), h. 533. Lihat juga Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya>, Maqa>yi>s al-Lugah, Juz I (Mesir: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 1423 H/2002 M), h. 28.  
[7] Ibn Manz\u>r, Lisa>n al-‘Arab, Jilid 4 (Mesir: Da>r al-Ma‘arif, t.th.) h. 2549.
[8] Lihat Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abdurrahma>n, op. cit., h. 12.
[9] Nu>ruddi>n ‘Itr, op. cit., h. 80.
[10] ‘Abdulazi>z ibn Ah}mad al-Bukha>ri>, Kasyf al-Asra>r ‘an Usu>l Fakhr al-isla>m al-Bazdawi>, Juz II (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998 M), h. 578-579.
[11] Ibid.,
[12] Lihat Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Nuzhah al-Naz\r fi> Taud}i>h} al-Fikr fi> Mus}t}alah} Ahl al-As\ar, di-tah}qi>q oleh Nu>ruddi>n ‘Itr (Cet. III; Damaskus: Maktabah al-S}aba>h, 1421 H/2000 M), h. 58. Lihat pula Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Syahbah, Difa>‘ ‘an al-Sunnah (Cet. I; Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1409 H/1989 M), h. 29.
[13] H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 138.
[14] Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fi‘i>, al-Risa>lah, ditah}qi>q oleh Ah}mad Muh}ammad Sya>kir (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 401.
[15] Abu> ‘Amr ‘Us\ma>n ibn ‘Abdurrahma>n, op. cit., h. 106.
[16] H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 137.
[17] Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (t.tp: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th), h. 110-111.
[18] Nu>ruddi>n ‘Itr, op. cit., h. 86-87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar