Minggu, 22 Januari 2012

Kaedah Kebahasaan dalam Penafsiran

share

Dalam memahami kaidah-kaidah tafsir seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu. Menurut Kha>lid ibn ‘Us\ma>n salah satu ilmu bantu dalam memahami kaidah-kaidah tafsir adalah kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawa>‘id al-lugawiyyah).[1]Kaidah-kaidah ini berkaitan dengan ilmu kebahasaan, ilmu nah}w dan ilmu s}arf.[2] Kaidah-kaidah ini membantu para mufasir dalam rangka tadabbur terhadap ayat-ayat Alquran, karena dia diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, sebagaimana dalam firman Allah QS. Yu>suf/12: 2, yaitu:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (٢)

 Terjemahnya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”[3]

1
 
Orang yang menafsirkan Alquran tanpa memiliki ilmu yang memadai tentang kaidah-kaidah kebahasaan cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan Alquran. Salah satu contoh penafsiran keliru ketika menafsirkan firman Allah swt. QS. Al-Isra>’/17: 71, sebagai berikut:
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧١)
Terjemahnya:

“(Ingatlah) pada hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”[4]

Penafsiran yang keliru adalah kata ima>m dalam ayat tersebut dipahami sebagai bentuk jamak dari kata umm yang berarti ibu. Dengan demikian ayat itu berkonotasi bahwa di akhirat kelak setiap orang akan dipanggil melalui nama ibunya. Hikmahnya dipanggil dengan nama ibunya, bukan bapaknya, untuk menghormati nabi Isa, menyatakan kemuliaan H{asan dan H{usayn, serta untuk tidak mempermalukan anak zina. Interpretasi seperti ini adalah interpretasi yang menyimpang, bahkan menurut al-Zamakhsyari> interpretasi semacam ini adalah mengada-ada. Penafsiran yang benar adalah kata “ima>m” dipahami sebagai sesuatu yang dijadikan pemimpin oleh orang yang bersangkutan seperti nabi, pemimpin agama, kitab, atau agama.[5]


[1] Lihat Kha>lid ibn ‘Us\ma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r: Jam‘an wa Dira>satan, Jilid I (Cet. I; t.t.: Da>r Ibn ‘Affa>n, 1421 H.), h. 40.
[2] Ibid., h. 248.
[3] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 1418 H), h. 348.
[4]  Departemen Agama RI, op. cit., h. 435.
[5] Lihat Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, di-tah}qi>q oleh ‘Abd al-Razza>q al-Mahdi>, Juz II, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s} al-‘Arabi>, t.th.), h. 637.

1 komentar: